Berita Flash News
Saturday, 21 September 2013
Didukung Hampir 10.000 Orang, Petisi Wilfrida Diserahkan ke DPR
Meulaboh – Tandatangan petisi berasal dari warga berbagai negara, bukan hanya Indonesia. Mereka berharap, DPR mengirimkan delegasi ke Malaysia untuk mengupayakan pengampunan atau pembebasan Wilfrida dari kemungkinan vonis mati.
Putusan sela pengadilan Malaysia atas kasus Wilfrida Soik tinggal 10 hari lagi. TKW yang dikirim ke Malaysia saat di bawah umur itu dituntut hukuman mati oleh jaksa. Pegiat buruh migran Anis Hidayah memulai petisi www.change.org/wilfrida dan didukung hampir 10.000 orang warga negara Indonesia, Malaysia dan negara lainnya.
“Untuk menyampaikan aspirasi dukungan Wilfrida, Anis Hidayah, anggota DPR-RI Rieke Diah Pitaloka bersama Change.org Indonesia menyerahkan petisi kepada pimpinan DPR yang diterima oleh Wakil Ketua DPR-RI Pramono Anung,” kata Arief Aziz di Gedung DPR, Kamis, 19 September.
“Saya meminta DPR-RI secara institusi meneruskan petisi dukungan masyarakat berbagai negara untuk pembebasan Wilfrida dari vonis mati,” kata Anis yang bersama anggota DPR Rieke Diah Pitaloka menginisiasi petisi.
“Saya berharap dengan petisi ini DPR ambil bagian dalam perjuangkan Wilfrida. Saya sampaikan berulangkali agar perlindungan dan pendampingan hukum buat Wilfrida lebih dioptimalkan dan semua proses persidangan disampaikan kepada publik di tanah air” kata Rieke Diah Pitaloka, politisi perempuan yang aktif memperjuangkan hak-hak buruh.
Seorang penandatangan petisi, Umar Alatas menilai “Rasa keadilan dan kemanusiaan amatlah penting, jauh melebihi batas kewarganegaraan yang picik yang seringkali dialami oleh para pekerja kita di luar negeri.” Penandatangan petisi lainnya, Bambang Heryanto berpendapat dengan nada tanya, “Mengapa kita membunuh orang yang membunuh untuk menunjukkan bahwa pembunuhan itu salah?”
Tokoh-tokoh agama juga mendukung kampanye pembebasan Wilfrida dari hukuman mati, diantaranya Romo Benny Susetyo (KWI), Andar Nubowo (PP Muhammadiyah), serta KH Maman Imanulhaq (NU).
“Wilfrida adalah buruh migran Indonesia yang menjadi korban karena ditempatkan sebagai “komoditas” oleh pemerintah Malaysia bahkan pemerintahnya sendiri Indonesia,” kata KH Maman Imanulhaq.
Ketidakpedulian SBY pada nasib Wilfrida, lanjut pimpinan pondok pesantren Cirebon ini, sama dengan ikut menghukumnya. Ini melanggar HAM dan mengkhianati Konvensi PBB Anti-Diskriminasi Perempuan. Wilfrida harus dibebaskan!”
Sementara itu, Andar Nubowo mengemukakan, “Kami berharap kepada ormas Islam NU dan Muhammadiyah serta komunitas agama lainnya untuk menuntut penghapusan vonis hukuman mati bagi Wilfrida Soik, buruh migran dari Belu NTT, di Malaysia. Menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.”
Selanjutnya Rieke menilai, desakan segelintir orang saja tidak cukup. Perlu lebih banyak suara yang teriakan agar pemerintah bergegas selamatkan rakyatnya. “Atau barangkali bagi pemerintahan SBY seorang gadis belia, korban perdagangan manusia, bernama Wilfrida tak ada artinya. Sepertinya, bagi SBY Konvensi Capres lebih berarti,” tandasnya.
Wilfrida didakwa atas pembunuhan (melanggar pasal 302 Penal Code Kanun Keseksaan) Malaysia dengan hukuman maksimal pidana mati. Buruh migran ini belum genap 17 tahun saat dikirim ke Malaysia. Ia menyatakan aksinya merupakan upaya pembelaan diri dari kekerasan majikan. Wilfrida kerap menerima amarah dan pukulan bertubi-tubi.