Berita Flash News

Friday, 18 January 2013

Mensejahterakan Nelayan Sebagai Prasyarat Tegaknya Kedaulatan Indonesia

Ibu/ Bapak Pimpinan Organisasi Nelayan, Perempuan Nelayan dan Petambak Indonesia yang kami banggakan,
Saudara-saudari pejuang Hak Asasi Manusia yang kami hormati,
Hadirin-hadirat yang berbahagia,

Assalaamua’laikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.

Hidup Nelayan, Hidup Nelayan, Hidup Nelayan!

Pertama-tama ijinkan saya mengajak kita semua untuk mendoakan saudara-saudara kita nelayan tradisional Indonesia yang pada 1 bulan terakhir tidak dapat pergi melaut karena bencana cuaca ekstrem dan gelombang tinggi. KIARA menemukan sedikitnya 20 orang nelayan hilang dan meninggal di laut, sedang 500 ribu kepala keluarga nelayan lainnya terpaksa hidup dalam situasi yang serba terbatas.

Dan, selamat kepada Petambak Bumi Dipasena Lampung yang hari ini menang atas gugatan Perusahaan Asing asal Thailand, Charoen Pokphand di Pengadilan Negeri Manggala.

Lima puluh lima tahun silam, sejak Deklarasi Djuanda 1957 dikumandangkan, Indonesia telah menegaskan kedaulatannya terhadap perairan di antara pulau-pulau. Sejatinya ini tidak didasarkan pada kepentingan ekonomi semata. Tetapi untuk memastikan tujuan kemerdekaan Indonesia dapat tercapai dan dengan waktu yang secepat-cepatnya.

Kepentingan Indonesia pertama dan paling utama di laut adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam kenyataannya, setiap tahun, tidak kurang dari 1.000 kapal ikan asing, bebas keluar-masuk dan mencuri ikan Indonesia. Pun demikian, sekurang-kurangnya 30 orang nelayan Indonesia ditangkap oleh aparatur keamanan laut Malaysia, India, atau Australia—saat menangkap ikan di laut Indonesia.

Kita beruntung, ada nelayan tangguh seperti Pak Rustan dari Tarakan Kalimantan Timur, atau Pak Sangkot dari Langkat Sumatera Utara yang mengambil inisiatif untuk membebaskan nelayan-nelayan Indonesia dari penjara Malaysia. Ataupun, menangkap dan melaporkan kapal-kapal asing yang sedang mencuri ikan Indonesia kepada aparat keamanan laut.

Kepentingan kedua bangsa ini adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Sayangnya, potret kegagalan negara mensejahterakan rakyat justru ada di laut. Sedikitnya 25 persen masyarakat miskin Indonesia hidup dan tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Sekali lagi kita beruntung, bahwa ada Ibu Masnu’ah dari Demak dan Ibu Habibah dari Teluk Jakarta. Keduannya memberikan keteladanan kepada kita, bahwa bekerja keras dan bekerjasama adalah modalitas yang dimiliki perempuan nelayan Indonesia untuk menjawab tantangan kesejahteraan keluarga.

Kepentingan lain Indonesia terhadap laut adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Disini, peran negara hampir tak hadir di kampung-kampung nelayan maupun di laut. Hal ini ditandai dengan minimnya infrastruktur pendidikan hingga “dibunuhnya” kearifan tradisional masyarakat adat yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, kapal-kapal berbendera Indonesia justru dikuasai oleh pelaut-pelaut asal Thailand, Vietnam, maupun negara asing lainnya.

Temuan KIARA di perairan Natuna, diantara kapal-kapal ikan yang sudah berbendera Indonesia justru menggunakan 99 persen Anak Buah Kapak asal Thailand, sedang sebagian lagi 100 persen menggunakan ABK asal Vietnam. Saya harus mengatakan, bahwa Indonesia pun beruntung memiliki nelayan seperti Pak Daniel dari Teluk Palu Sulawesi Tengah, Pak Amin Abdullah dari Nusa Tenggara Barat, Saudara Dahli Sirait dari Tanjung Balai Sumatera Utara, dan Ibu Nurlia dari Serdang Bedagai Sumatera Utara. Ketiganya secara aktif meningkatkan kapasitas keilmuan nelayan Indonesia melalui berbagai bentuk pendidikan alternatif.

Terakhir, sejak awal Bangsa Indonesia ingin memaksimalkan kedaulatan di laut dalam rangka untuk terlibat menjaga perdamaian dunia. Yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Indonesia justru terlibat dalam Coral Triangle Initiatives atau Inisiatif Segitiga Terumbu Karang, bersama 5 negara lainnya. Melalui program pemetaan dan riset kawasan, CTI memperbesar pengaruh Amerika Serikat dan Australia di laut kita. Dominasi keduannya adalah ancaman, bukan peluang perdamaian!

Makna Deklarasi Juanda 1957 adalah bentuk keinginan Republik untuk berdaulat dan terlepas dari pengaruh dan dominasi asing.

Dari sana kita dapat melihat pemerintahan hari ini telah kehilangan orientasi membangun Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar. Banjir yang hari ini melumpuhkan kota pantai seperti Jakarta adalah contoh konkrit disorientasi pembangunan tersebut.
Contoh lain, impor produk pangan yang dari tahun-ketahun semakin beragam komoditasnya. Mulai dari beras, bawang, kedelai, sapi, ikan gembung, ikan lele, bahkan garam. Praktik impor ikan dan garam sekaligus menghina akal sehat 60 juta rakyat Indonesia yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Enam puluh juta rakyat Indonesia tersebut adalah penentu baik buruknya bangsa Indonesia kedepan. Enam puluh juta rakyat Indonesia itu pula yang akan memastikan tegaknya kedaulatan Indonesia!
Menyusul momentum politik 2014, saatnya Indonesia memiliki instrumen perlindungan nelayan. Hal ini sudah menjadi kebutuhan! Bahkan kebutuhan mendesak ditengah semakin rapuhnya kedaulatan Indonesia. Nelayan tidak boleh lagi tertipu oleh rekayasa politik. Tetapi tidak boleh pula apolitis. Saatnya nelayan melek politik, karenanya nelayan dan petambak harus berorganisasi. Hanya dengan begitu kita bersama-sama dapat merebut kesejahteraan dan mengembalikan pembangunan Indonesia pada arah yang benar.

Hidup nelayan Indonesia, Hidup nelayan Indonesia, Hidup nelayan Indonesia,
Taman Ismail Marzuki Jakarta, 17 Januari 2013
M. Riza Damanik
Sekretaris Jenderal KIARA
# disampaikan pada Malam Budaya Bahari, Temu Akbar Nelayan Indonesia, tanggal 17 Januari, bertempat di Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta.
(Reporter; Hasanudin)